Showing posts with label Cerpen. Show all posts
Showing posts with label Cerpen. Show all posts

Sunday, June 7, 2015

Maaf Maaf Dan Maaf

MAAF
Tak ada yang salah dari kata 'Maaf'
Tak harus yang salah pula yang meminta
maaf
Uluran tangan dan menggenggam penuh
ikhlas...
Terkadang sulit untuk mengatakan,
Maaf ! Maaf ! Maaf !
Indah bila 'Maaf' tak harus diminta
Terungkapkan tanpa harus terpaksa
Menyatukan hati atas pemikiran yang
berbeda
Menjadikan satu kata menjadi lebih
bermakna
Maaf !
Jika semuanya terjadi tak selalu
sama
Dan maaf ! Jika semuanya terjadi karena
berbeda
Bukan kesalahan atau pula yang
tersalahkan,
Namun ucapan, pemahaman, perbuatan
terkadang tak selalu sama
Gengsi ! Sampai kapan kata itu tertanam
dalam hati
Bila harus terjadi jarak tanpa adanya
pengertian
Mengganggu pemahaman
Penghambat senyuman tulus atas masing-
masing insan.

Friday, June 5, 2015

Cintaku Tak Berlisan

Cintaku Tak Berlisan

Senja menyapa, Mentari elok segera sirna dari peraduannya. Sore seakan berganti malam yang berhias bintang. Bersama sinar rembulan yang menawan cinta yang menyatukan insan sesuai titah Tuhan.

Cinta entah apa itu, jika aku bertanya kapada orangtuaku, dengan santai ia menjawab. “belum waktunya sayang, kalau cinta sudah datang nanti kamu juga akan tahu,” itulah jawaban orangtuaku jika aku bertanya tentang cinta kepada mereka. Kata mereka yang terpenting sekarang adalah belajar untuk mengejar impian. Tapi semakin aku mengacuhkan cinta, hati ini semakin meronta ketika kupandang seseorang yang senyumnya menggoda hati. Seraya hati ini menjerit sangat keras bahwa cinta ini telah hadir dalam hatiku atas jawaban lelaki itu.

Hampir setiap hari aku memperhatikannya. Setiap hari kulihat dia lewat jendela kamarku yang sedang berkomat-kamit melantunkan kalam Ilahi untuk ia hapalkan Al-qur’an setebal itu. Sayang diriku tak bisa seperti dirinya, aku hanya bisa membayangkan untuk bisa merasakan bagaimana hidup di pesantren itu. Keinginanku ditolak orangtuaku, karena diriku yang serba tidak memungkinkan. Kondisiku yang lemah bahkan sering sakit-sakitan menjadi alasan mengapa aku tak di izinkan untuk bermukim di pesantren.

“Hayo.. lagi lihatin apa..?” ibu membuyarkan pikiranku. “Ah ibu, gak lihat apa-apa kok.” Jawabku bingung. “Yang benar..?” goda ibu. “Iya bu..” yakinku pada ibu. “Ayo, ditutup jendelanya, gak baik anak perempuan lihatin santri putra.” Perintah ibu lalu kututup jendela kamarku rapat-rapat.

“Ayah, Ibu, Nida berangkat sekolah dulu.” Izinku pada orangtuaku. “Lho, gak sarapan dulu?” tanya ibuku. “Gak lapar bu.” Jawabku acuh tak acuh. “Ntar sakit lho..” ayah mencoba membujukku. “Insyaallah gak Yah, Assalamu’alaikum.” Salamku sambil mencium tangan kedua orangtuaku. “Wa’alaikum salam” jawab orangtuaku.

Aku berjalan keluar menuju sekolah. Baru sampai di persimpangan jalan aku bertemu dengan dia. Dengan seseorang yang selalu aku puja. Oh sungguh hari yang membahagiakan. Beberapa menit kemudian sampailah aku di sekolah. “Hey Sobat, how are you?” sapa Alin kepadaku. “Gaya loch, ana bi khoir.” Jawabku. “Hey sobat.” Sapa Fajar dan Syarif ketika bertemu aku dan Alin. “Hey juga sobat.” Jawabku serentak dengan Alin.

Kita memang bersahabat sejak masih duduk di bangku SMP, mereka adalah sahabat yang sempurna di mataku.
“Al, hari ini aku bahagia dech.” Kataku mengawali curhat hari ini. “Kenapa emang?” tanya Alin penasaran. “Dia tersenyum manis kepadaku.” Kataku sembari tertawa riang. “Dia siapa sih..?” tanyanya lagi. “Ada dech..” jawabku manja. “Pasti.. anak santri itu kan?” tebak Alin. “He’em, tadi aku ketemu dia.” “Terus gimana…”
Obrolanku terputus saat pak Najib datang ke kelas. Dan KBM pun dimulai.

Tak terasa waktu empat puluh menit telah berlalu, bel pun berbunyi keras, seakan semangat ini muncul kembali kembali untuk segera pulang dan melihat Yasin yang sedang duduk di teras. Tapi keinginan itu sirna, ketika sahabatku mengajakku membeli buku di toko Al-Barokah.

“Nin.. ayo dong ikut..!” rayu Alin. “Gak ah, aku mau pulang.” Tolakku. “Yakin? Ntar nyesel loh..!” tambah Fajar. Akhirnya aku ikut sahabatku pergi ke toko buku.

“Pada mau beli buku ya?” rasa-rasanya suara itu sudah tak asing lagi terdengar di telingaku. “Nin, sini!” panggil Syarif mengejutkan lamunanku. “Ada apa Rif?” tanyaku sedikit malu. “Kenalin, ini temanku dari Madrasah Salafiyah.” Kata Syarif memperkenalkan Yasin kepadaku dan juga Alin, yang sebenarnya diriku telah mengenalnya. “Oh, Madrasah yang dekat sama Madrasah kita itu ya?” celotehku. “Iya, kamu putrinya bapak Ahmad kan? Yang rumahnya dekat Pesantrenku.” Tanya Yasin padaku. “Iya, kok tau?” “Tahulah, kamu kan yang sering mengamati anak santri lewat jendela kamarmu?” kata Yasin membuatku malu. “Masak sih, ngarang aja kamu.” Kataku untuk menutupi malu.

Tak lama kemudian, selesai sudah acara pilih-pilih buku dan hanya Syarif yang akhirnya mengambil buku, itu pun hanya satu. Setelah itu, kita pulang. Bayangnya yang indah kini telah sirna, berharap kesempatan akan membawaku kembali padanya lagi.

Beberapa bulan berlalu, aku, Alin Nabila, Fajar Septiawan dan Wahifdhon Syarif telah resmi lulus dari Madrasah. Alin melanjutkan studinya di pesantren Jawa Timur, sedangkan Fajar dan Syarif melanjutkan studinya di salah satu Universitas di Jakarta. Berbeda denganku, semua keinginanku sirna, aku hanya melanjutkan studi di salah satu Universitas di tempatku. Padahal keinginanku seperti Alin.

Kini hari-hari ku jalani sendiri tanpa adanya senyum sahabat-sahabatku lagi. Semangatku tinggal Yasin seorang yang selalu ceria dengan senyumnya yang khas itu. “ya Allah.. mengapa Engkau memberi cinta yang seperti ini, cinta yang sulit untuk ku jalani, bahkan sulit juga diucapkan.” Batinku menangis, kala aku menyadari betapa cinta yang tumbuh dalam lubuk hatiku dan tak sadar siapa orang yang aku cintai, tanpa mengerti mengapa aku bisa mencintainya. Kuhabiskan hari-hariku dengan renungan. Setiap malam kujadikan sebagai penghibur rindu. Bulan dan bintang menjadi hiasan relung hati yang sepi. Mentari pagi memberiku semangat agar aku selalu bisa dalam menjalani skenario hidup ini.

“Nida sayang…” lirih ibuku dari belakang. “Ibu bikin kaget aja.” Jawabku sedari menutup jendela kamarku. “Ibu boleh tanya sesuatu?” kata Ibu mengawali percakapan. “Bolehlah.. emang Ibu mau tanya apa?” “Sudahkah dirimu menemukan cinta?” pertanyaan ini sempat membuatku bingung, harus aku jawab apa? Kekasih saja aku tak pernah punya. Aku pun sempat lama melamun. “Nin.. apa sudah ada? Ayo ceritakan pada ibu.” Ibu mengagetkanku. “Belum Bu..” jawabku membohongi ibuku. “Masak sih.. Ibu gak percaya.”
Tok tok tok..
Suara ketukan pintu memutuskan percakapanku dengan Ibu. Aku bergegas membuka pintu, dan ternyata tukang pos.
“Selamat sore, apa benar ini rumahnya saudari Azizun Nida?” sambil membaca alamat yang tertera di sampul surat. “Betul pak, apa ada kiriman surat?” Aku berharap sahabat-sahabatku disana mengirimkan sepucuk surat untukku. “Iya mbak, ini ada titipan surat dari saudari Ali Nabila.” Kemudian menyerahkan surat itu kepadaku. “Terima kasih pak.”
Aku sudah tak sabar ingin membacanya. Ternyata Alin tak lupa denganku, sudah empat tahun aku tak berjumpa dengannya. Rasanya aku sangat rindu kepadanya.

Untuk Sahabatku,
Azizun Nida
Assalamu’alaikum warahmatullah
Sobat, bersama angin yang berhembus ria, sepucuk surat telah datang untuk menggantikan diriku yang dulu selalu ada di sampingmu. Sobat, aku sangat rindu denganmu, juga dengan Fajar dan Syarif. Lewat selembar kertas ini, aku ingin berbagi kebahagian denganmu. Mungkin kamu tak pernah menyangka jika aku akan segera menjadi milik salah satu seorang santri dari pesantren Ma’rifatul Ulum, yakni Muhammad Yasin, aku sangat bahagia sobat mendapatkan seseorang yang ahli agama. Sobat sebentar lagi kita akan bertemu kembali, karena aku akan melangsungkan sunnah Rasul di pesantren itu.
Sekian dulu sobat..
Wassalamu’alaikum warahmatullah
Salam rindu Sobatmu,
Alin Nabila.

Seketika itu, surat kiriman dari Alin lepas dari genggamanku, tiba-tiba ragaku mulai melemah, air mataku mulai nampak di pipi, saat itu aku shock berat hingga aku tak sadar bahwa diriku telah terbaring lemah tak berdaya dengan bantuan alat pernapasan.

“Sobat..” genggamannya terasa hangat di tanganku, aku pun pelan-pelan membuka mata. Dan ternyata sungguh sangat menyedihkan, Alin menjengukku bersama Yasin, rasanya aku ingin marah, tapi tak mungkin, salah jika diriku marah, seharusnya aku sadar bahwa aku tak pantas untuk Yasin.

Hari ini janur kuning telah tertancap di halaman pesantren Ma’rifatul Ulum. Sedangkan diriku masih lemah hingga harus duduk di atas kursi roda. Dengan penuh uraian air mata aku mengamati orang-orang yang tengah sibuk mempersiapkan pernikahan untuk mereka. “Kini Ibu sadar bahwa orang yang kamu cintai adalah Yasin Sayang..” sambil mengusap air mataku, ibu mencoba mengerti perasaanku. Aku hanya tetap diam dan menangis hingga ibu tak kuasa melihat diriku yang rapuh akan cinta ini. Dari arah kejauhan tampak mereka sangat bahagia, senyum terpancar dari wajah sahabatku Alin dan Yasin, kupertahankan air mataku agar tak terlihat oleh mereka, tetapi tetap saja menetes setiap aku menghapusnya.

“Selamat sobat, semoga engkau selalu bahagia.” Tanpa sadar aku meneteskan air mata. “Makasih Sobat.. mengapa engkau menangis?” Alin mencoba memastikan keadaanku. “Mungkin anakku terlalu bahagia karena dirimu juga bahagia nak Alin.” Sambil mendorong kursiku ke arah Yasin ibu tersenyum pada Alin. “Yasin, selamat ya semoga bahagia.” “Terima kasih Nin..” dengan senyumnya yang khas ia membalas ucapanku.

Sungguh tak kuasa diriku, merasa tak ikhlas, tapi memang beginilah cintaku. Aku memang salah, tak memberanikan diri untuk mengungkapkan bahwa aku mencintai Yasin. Aku merasa tak pantas bila mengungkapkan jika aku mencintainya, karena aku seorang wanita. Aku selalu saja berharap dan menanti jika ia akan mencintaiku, lisanku hanya diam, lisanku tak berani berbicara, hanya hati yang bisa memberontak dan merasa tak ikhlas bahwa cinta ini tak untukku, tapi untuk sahabatku. Kini cintaku hanyalah impian, berharap cinta ini bagai bintang yang bersinar, pelangi yang menawan dan bulan yang tersenyum bahagia. Tapi sayang, cintaku yang sebenarnya bagaikan angin kencang yang merobohkan tiang, bagai hujan deras serta petir yang menyambar, hanya karena tak berlisan.

Cerpen Karangan: Dewi Kotijah

  

CINTA LELAKI BIASA

 
(Asma Nadia - True Story)
Menjelang hari H, Nania masih saja sulit mengungkapkan alasan kenapa dia mau
menikah dengan lelaki itu.
Baru setelah menengok ke belakang, hari-hari yang dilalui, gadis cantik itu sadar,
keheranan yang terjadi
bukan semata miliknya, melainkan menjadi milik banyak orang; Papa dan Mama, kakak-
kakak, tetangga, dan teman-teman Nania. Mereka ternyata sama herannya.
Kenapa? Tanya mereka di hari Nania mengantarkan surat undangan.
Saat itu teman-teman baik Nania sedang duduk di kantin menikmati hari-hari sidang yang
baru saja berlalu. Suasana sore di kampus sepi.
Berpasang-pasang mata tertuju pada gadis itu.
Tiba-tiba saja pipi Nania bersemu merah, lalu matanya berpijar bagaikan lampu neon
limabelas watt.
Hatinya sibuk merangkai kata-kata yg barangkali beterbangan di otak melebihi kapasitas.
Mulut Nania terbuka. Semua menunggu. Tapi tak ada apapun yang keluar dari sana.
Ia hanya menarik nafas, mencoba bicara dan? menyadari, dia tak punya kata-kata!
Dulu gadis berwajah indo itu mengira punya banyak jawaban, alasan detil dan spesifik,
kenapa bersedia menikah dengan laki-laki itu. Tapi kejadian di kampus adalah kali kedua
Nania yang pintar
berbicara mendadak gagap. Yang pertama terjadi tiga bulan lalu saat Nania
menyampaikan keinginan
Rafli untuk melamarnya. Arisan keluarga Nania dianggap momen yang tepat karena
semua berkumpul, bahkan hingga generasi ketiga, sebab kakak-kakaknya yang sudah
berkeluarga membawa serta buntut mereka.
Kamu pasti bercanda!
Nania kaget. Tapi melihat senyum yang tersungging di wajah kakak tertua, disusul
senyum serupa dari kakak nomor dua, tiga, dan terakhir dari Papa dan Mama membuat
Nania menyimpulkan: mereka serius ketika mengira Nania bercanda.
Suasana sekonyong-konyong hening. Bahkan keponakan-keponakan Nania yang balita
melongo dengan gigi-gigi mereka yang ompong. Semua menatap Nania!
Nania serius! tegasnya sambil menebak-nebak, apa lucunya jika Rafli memang
melamarnya.
Tidak ada yang lucu, suara Papa tegas,
Papa hanya tidak mengira Rafli berani melamar anak Papa yang paling cantik! 
Nania tersenyum. Sedikit lega karena kalimat Papa barusan adalah pertanda baik.
Perkiraan Nania tidak sepenuhnya benar sebab setelah itu berpasang-pasang mata
kembali menghujaninya, seperti tatapan mata penuh selidik seisi ruang pengadilan pada
tertuduh yang duduk layaknya pesakitan.
Tapi Nania tidak serius dengan Rafli, kan?
Mama mengambil inisiatif bicara, masih seperti biasa dengan nada penuh wibawa,
maksud Mama siapa saja boleh datang melamar siapapun, tapi jawabannya tidak harus
iya, toh?
Nania terkesima.
Kenapa?
Sebab kamu gadis Papa yang paling cantik.
Sebab kamu paling berprestasi dibandingkan kami.
Mulai dari ajang busana, sampai lomba beladiri. Kamu juga juara debat bahasa Inggris,
juara baca puisi seprovinsi. Suaramu bagus!
Sebab masa depanmu cerah. Sebentar lagi kamu meraih gelar insinyur.
Bakatmu yang lain pun luar biasa. Nania sayang, kamu bisa mendapatkan laki-laki
manapun yang kamu mau!
Nania memandangi mereka, orang-orang yang amat dia kasihi, Papa,
kakak-kakak, dan terakhir Mama. Takjub dengan rentetan panjang uraian mereka
atau satu kata 'kenapa' yang barusan Nania lontarkan.
Nania Cuma mau Rafli, sahutnya pendek dengan airmata mengambang di kelopak.
Hari itu dia tahu, keluarganya bukan sekadar tidak suka, melainkan sangat tidak
menyukai Rafli.
Ketidaksukaan yang mencapai stadium empat. Parah.
Tapi kenapa?
Sebab Rafli cuma laki-laki biasa, dari keluarga biasa,
dengan pendidikan biasa, berpenampilan biasa,
dengan pekerjaan dan gaji yg amat sangat biasa.
Bergantian tiga saudara tua Nania mencoba membuka matanya.
Tak ada yang bisa dilihat pada dia, Nania!
Cukup! 
Nania menjadi marah. Tidak pada tempatnya ukuran-ukuran duniawi menjadi parameter
kebaikan seseorang menjadi manusia. Di mana iman, di mana tawakkal hingga begitu
mudah menentukan masa depan
seseorang dengan melihat pencapaiannya hari ini?
Sayangnya Nania lagi-lagi gagal membuka mulut dan membela Rafli.
Barangkali karena Nania memang tidak tahu bagaimana harus membelanya.
Gadis itu tak punya fakta dan data konkret yang bisa membuat Rafli tampak 'luar biasa'.
Nania Cuma punya idealisme berdasarkan perasaan yang telah menuntun Nania
menapaki hidup hingga umur duapuluh tiga. Dan nalurinya menerima Rafli. Di
sampingnya Nania bahagia.
Mereka akhirnya menikah.
***
Setahun pernikahan.
Orang-orang masih sering menanyakan hal itu, masih sering berbisik-bisik di belakang
Nania,
apa sebenarnya yang dia lihat dari Rafli. Jeleknya, Nania masih belum mampu juga
menjelaskan
kelebihan-kelebihan Rafli agar tampak di mata mereka.
Nania hanya merasakan cinta begitu besar dari Rafli, begitu besar hingga
Nania bisa merasakannya hanya dari sentuhan tangan, tatapan mata, atau cara dia
meladeni Nania.
Hal-hal sederhana yang membuat perempuan itu sangat bahagia.
Tidak ada lelaki yang bisa mencintai sebesar cinta Rafli pada Nania.
Nada suara Nania tegas, mantap, tanpa keraguan.
Ketiga saudara Nania hanya memandang lekat, mata mereka terlihat tak percaya.
Nia, siapapun akan mudah mencintai gadis secantikmu!
Kamu adik kami yang tak hanya cantik, tapi juga pintar!
Betul. Kamu adik kami yang cantik, pintar, dan punya kehidupan sukses!
Nania merasa lidahnya kelu. Hatinya siap memprotes.
Dan kali ini dilakukannya sungguh-sungguh. Mereka tak boleh meremehkan Rafli.
Beberapa lama keempat adik dan kakak itu beradu argumen.
Tapi Rafli juga tidak jelek, Kak!
Betul. Tapi dia juga tidak ganteng kan? 
Rafli juga pintar!
Tidak sepintarmu, Nania.
Rafli juga sukses, pekerjaannya lumayan.
Hanya lumayan, Nania. Bukan sukses. Tidak sepertimu.
Seolah tak ada apapun yang bisa meyakinkan kakak-kakaknya, bahwa adik mereka
beruntung mendapatkan suami seperti Rafli. Lagi-lagi percuma.
Lihat hidupmu, Nania. Lalu lihat Rafli! Kamu sukses,
mapan, kamu bahkan tidak perlu lelaki untuk menghidupimu.
Teganya kakak-kakak Nania mengatakan itu semua.
Padahal adik mereka sudah menikah dan sebentar lagi punya anak.
Ketika lima tahun pernikahan berlalu, ocehan itu tak juga berhenti.
Padahal Nania dan Rafli sudah memiliki dua orang anak, satu lelaki dan satu perempuan.
Keduanya menggemaskan. Rafli bekerja lebih rajin setelah mereka memiliki anak-anak.
Padahal itu tidak perlu sebab gaji Nania lebih dari cukup untuk hidup senang.
Tak apa, kata lelaki itu, ketika Nania memintanya untuk tidak terlalu memforsir diri. Gaji
Nania cukup, maksud Nania jika digabungkan dengan gaji Abang.
Nania tak bermaksud menyinggung hati lelaki itu. Tapi dia tak perlu khawatir sebab
suaminya yang berjiwa besar selalu bisa menangkap hanya maksud baik..
Sebaiknya Nania tabungkan saja, untuk jaga-jaga. Ya?
Lalu dia mengelus pipi Nania dan mendaratkan kecupan lembut.
Saat itu sesuatu seperti kejutan listrik menyentakkan otak dan membuat pikiran Nania
cerah.
Inilah hidup yang diimpikan banyak orang. Bahagia!
Pertanyaan kenapa dia menikahi laki-laki biasa, dari keluarga biasa,
dengan pendidikan biasa, berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji
yang amat sangat biasa, tak lagi mengusik perasaan Nania.
Sebab ketika bahagia, alasan-alasan menjadi tidak penting.
Menginjak tahun ketujuh pernikahan, posisi Nania di kantor semakin gemilang, uang
mengalir begitu mudah, rumah Nania besar, anak-anak pintar dan lucu, dan Nania
memiliki suami terbaik di dunia.
Hidup perempuan itu berada di puncak!
Bisik-bisik masih terdengar, setiap Nania dan Rafli melintas dan bergandengan mesra.
Bisik orang-orang di kantor, bisik tetangga kanan dan kiri, bisik saudara-saudara Nania,
bisik Papa dan Mama. 
Sungguh beruntung suaminya. Istrinya cantik.
Cantik ya? dan kaya!
Tak imbang!
Dulu bisik-bisik itu membuatnya frustrasi. Sekarang pun masih, tapi Nania belajar untuk
bersikap cuek tidak peduli. Toh dia hidup dengan perasaan bahagia yang kian membukit
dari hari ke hari.
Tahun kesepuluh pernikahan, hidup Nania masih belum bergeser dari puncak.
Anak-anak semakin besar. Nania mengandung yang ketiga.
Selama kurun waktu itu, tak sekalipun Rafli melukai hati Nania, atau membuat Nania
menangis.
***
Bayi yang dikandung Nania tidak juga mau keluar. Sudah lewat dua minggu dari
waktunya.
Plasenta kamu sudah berbintik-bintik. Sudah tua, Nania.
Harus segera dikeluarkan!
Mula-mula dokter kandungan langganan Nania memasukkan sejenis obat ke dalam rahim
Nania. Obat itu akan menimbulkan kontraksi hebat hingga perempuan itu merasakan
sakit yang teramat sangat.
Jika semuanya normal, hanya dalam hitungan jam, mereka akan segera melihat si kecil.
Rafli tidak beranjak dari sisi tempat tidur Nania di rumah sakit. Hanya waktu-waktu
shalat lelaki itu meninggalkannya sebentar ke kamar mandi, dan menunaikan shalat di
sisi tempat tidur. Sementara
kakak-kakak serta orangtua Nania belum satu pun yang datang.
Anehnya, meski obat kedua sudah dimasukkan, delapan jam setelah obat pertama, Nania
tak menunjukkan tanda-tanda akan melahirkan. Rasa sakit dan melilit sudah dirasakan
Nania per lima menit, lalu tiga menit.
Tapi pembukaan berjalan lambat sekali.
Baru pembukaan satu.
Belum ada perubahan, Bu.
Sudah bertambah sedikit, kata seorang suster empat jam kemudian menyemaikan
harapan.
Sekarang pembukaan satu lebih sedikit. Nania dan Rafli berpandangan.
Mereka sepakat suster terakhir yang memeriksa memiliki sense of humor yang tinggi. 
Tigapuluh jam berlalu. Nania baru pembukaan dua.
Ketika pembukaan pecah, didahului keluarnya darah, mereka terlonjak bahagia sebab
dulu-dulu
kelahiran akan mengikuti setelah ketuban pecah.
Perkiraan mereka meleset.
Masih pembukaan dua, Pak!
Rafli tercengang. Cemas. Nania tak bisa menghibur karena rasa sakit yang sudah tak
sanggup lagi ditanggungnya. Kondisi perempuan itu makin payah.
Sejak pagi tak sesuap nasi pun bisa ditelannya.
Bang?
Rafli termangu. Iba hatinya melihat sang istri memperjuangkan dua kehidupan.
Dokter?
Kita operasi, Nia. Bayinya mungkin terlilit tali pusar.
Mungkin?
Rafli dan Nania berpandangan. Kenapa tidak dari tadi kalau begitu?
Bagaimana jika terlambat?
Mereka berpandangan, Nania berusaha mengusir kekhawatiran. Ia senang karena Rafli
tidak melepaskan genggaman tangannya hingga ke pintu kamar operasi. Ia tak suka
merasa sendiri lebih awal.
Pembiusan dilakukan, Nania digiring ke ruangan serba putih. Sebuah sekat ditaruh di
perutnya hingga dia tidak bisa menyaksikan ketrampilan dokter-dokter itu. Sebuah lagu
dimainkan. Nania merasa berada dalam perahu
yang diguncang ombak. Berayun-ayun. Kesadarannya naik-turun. Terakhir, telinga
perempuan itu sempat menangkap teriakan-teriakan di sekitarnya,dan langkah-langkah
cepat yang bergerak, sebelum kemudian dia tak sadarkan diri.
Kepanikan ada di udara. Bahkan dari luar Rafli bisa menciumnya. Bibir lelaki itu tak
berhenti melafalkan zikir.
Seorang dokter keluar, Rafli dan keluarga Nania mendekat.
Pendarahan hebat!
Rafli membayangkan sebuah sumber air yang meluap, berwarna merah.
Ada varises di mulut rahim yang tidak terdeteksi dan entah bagaimana pecah! Bayi
mereka selamat, tapi Nania dalam kondisi kritis.
Mama Nania yang baru tiba, menangis. Papa termangu lama sekali.
Saudara-saudara Nania menyimpan isak, sambil menenangkan orangtua mereka. 
Rafli seperti berada dalam atmosfer yang berbeda.
Lelaki itu tercenung beberapa saat, ada rasa cemas yang mengalir di pembuluh-pembuluh
darahnya
dan tak bisa dihentikan, menyebar dan meluas cepat seperti kanker.
Setelah itu adalah hari-hari penuh doa bagi Nania.
***
Sudah seminggu lebih Nania koma. Selama itu Rafli bolak-balik dari kediamannya ke
rumah sakit. Ia harus membagi perhatian bagi Nania dan juga anak-anak. Terutama
anggota keluarganya yang baru, si kecil. Bayi itu
sungguh menakjubkan, fisiknya sangat kuat, juga daya hisapnya. Tidak sampai empat
hari, mereka sudah oleh membawanya pulang.
Mama, Papa, dan ketiga saudara Nania terkadang ikut menunggui Nania di rumah sakit,
sesekali mereka ke rumah dan melihat perkembangan si kecil. Walau tak banyak, mulai
terjadi percakapan antara pihak keluarga Nania
dengan Rafli.
Lelaki itu sungguh luar biasa. Ia nyaris tak pernah meninggalkan rumah sakit, kecuali
untuk melihat anak-anak di rumah. Syukurnya pihak perusahaan tempat Rafli bekerja
mengerti dan memberikan izin penuh.
Toh, dedikasi Rafli terhadap kantor tidak perlu diragukan.
Begitulah Rafli menjaga Nania siang dan malam.
Dibawanya sebuah Quran kecil, dibacakannya dekat telinga Nania yang terbaring di
ruang ICU.
Kadang perawat dan pengunjung lain yang kebetulan menjenguk sanak famili mereka,
melihat lelaki dengan penampilan sederhana itu bercakap-cakap dan bercanda mesra..
Rafli percaya meskipun tidak mendengar, Nania bisa merasakan kehadirannya.
Nania, bangun, Cinta?
Kata-kata itu dibisikkannya berulang-ulang sambil mencium tangan, pipi dan kening
istrinya yang cantik.
Ketika sepuluh hari berlalu, dan pihak keluarga mulai pesimis dan berfikir untuk pasrah,
Rafli masih berjuang. Datang setiap hari ke rumah sakit, mengaji dekat Nania sambil
menggenggam tangan istrinya
mesra. Kadang lelaki itu membawakan buku-buku kesukaan Nania ke rumah sakit dan
membacanya dengan suara pelan. Memberikan tambahan di bagian ini dan itu. Sambil tak
bosan-bosannya berbisik, 
Nania, bangun, Cinta?
Malam-malam penantian dilewatkan Rafli dalam sujud danpermohonan.
Asalkan Nania sadar, yang lain tak jadi soal. Asalkan dia bisa melihat lagi cahaya di mata
kekasihnya, senyum di bibir Nania, semua yang menjadi sumber semangat bagi orang-
orang di sekitarnya, bagi Rafli.
Rumah mereka tak sama tanpa kehadiran Nania. Anak-anak merindukan ibunya.
Di luar itu Rafli tak memedulikan yang lain, tidak wajahnya yang lama tak bercukur, atau
badannya yang semakin kurus akibat sering lupa makan.
Ia ingin melihat Nania lagi dan semua antusias perempuan itu di mata, gerak bibir,
kernyitan kening, serta gerakan-gerakan kecil lain di wajahnya yang cantik. Nania sudah
tidur terlalu lama.
Pada hari ketigapuluh tujuh doa Rafli terjawab.
Nania sadar dan wajah penat Rafli adalah yang pertama ditangkap matanya.
Seakan telah begitu lama. Rafli menangis, menggenggam tangan Nania dan
mendekapkannya ke dadanya, mengucapkan syukur berulang-ulang dengan airmata yang
meleleh.
Asalkan Nania sadar, semua tak penting lagi.
Rafli membuktikan kata-kata yang diucapkannya beratus kali dalam doa.
Lelaki biasa itu tak pernah lelah merawat Nania selama sebelas tahun terakhir.
Memandikan dan menyuapi Nania, lalu mengantar anak-anak ke sekolah satu per satu.
Setiap sore setelah pulang kantor, lelaki itu cepat-cepat menuju rumah dan menggendong
Nania ke teras, melihat senja datang sambil memangku Nania seperti remaja belasan
tahun yang sedang jatuh cinta.
Ketika malam Rafli mendandani Nania agar cantik sebelum tidur.
Membersihkan wajah pucat perempuan cantik itu, memakaikannya gaun tidur.
Ia ingin Nania selalu merasa cantik. Meski seringkali Nania mengatakan itu tak perlu.
Bagaimana bisa merasa cantik dalam keadaan lumpuh?
Tapi Rafli dengan upayanya yang terus-menerus dan tak kenal lelah selalu meyakinkan
Nania, membuatnya pelan-pelan percaya bahwa dialah perempuan paling cantik dan
sempurna di dunia. Setidaknya di mata Rafli.
Setiap hari Minggu Rafli mengajak mereka sekeluarga jalan-jalan keluar.
Selama itu pula dia selalu menyertakan Nania. Belanja, makan di restoran, nonton
bioskop, rekreasi ke manapun Nania harus ikut. Anak-anak, seperti juga Rafli, melakukan
hal yang sama, selalu melibatkan
Nania. Begitu bertahun-tahun.
Awalnya tentu Nania sempat merasa risih dengan pandangan orang-orang di sekitarnya.
Mereka semua yang menatapnya iba, lebih-lebih pada Rafli yang berkeringat mendorong 
kursi roda Nania ke sana kemari.
Masih dengan senyum hangat di antara wajahnya yang bermanik keringat.
Lalu berangsur Nania menyadari, mereka, orang-orang yang ditemuinya di jalan, juga
tetangga-tetangga, sahabat, dan teman-teman Nania tak puas hanya memberi pandangan
iba, namun juga mengomentari,
mengoceh, semua berbisik-bisik.
Baik banget suaminya!
Lelaki lain mungkin sudah cari perempuan kedua!
Nania beruntung!
Ya, memiliki seseorang yang menerima dia apa adanya.
Tidak, tidak cuma menerima apa adanya, kalian lihat bagaimana suaminya memandang
penuh cinta. Sedikit pun tak pernah bermuka masam!
Bisik-bisik serupa juga lahir dari kakaknya yang tiga orang, Papa dan Mama.
Bisik-bisik yang serupa dengungan dan sempat membuat Nania makin frustrasi, merasa
tak berani, merasa?
Tapi dia salah. Sangat salah. Nania menyadari itu kemudian. Orang-orang di luar mereka
memang tetap berbisik-bisik, barangkali selamanya akan selalu begitu. Hanya saja,
bukankah bisik-bisik itu kini berbeda bunyi?
Dari teras Nania menyaksikan anak-anaknya bermain basket dengan ayah mereka..
Sesekali perempuan itu ikut tergelak melihat kocak permainan.
Ya. Duapuluh dua tahun pernikahan. Nania menghitung-hitung semua, anak-anak yang
beranjak dewasa, rumah besar yang mereka tempati, kehidupan yang lebih dari yang bisa
dia syukuri. Meski tubuhnya
tak berfungsi sempurna. Meski kecantikannya tak lagi sama karena usia, meski karir telah
direbut takdir dari tangannya.
Waktu telah membuktikan segalanya.
Cinta luar biasa dari laki-laki biasa yang tak pernah berubah, untuk Nania.
Seperti yg diceritakan oleh seorang sahabat..
- Asma Nadia

Polisi yang Baik Hati

Helen .. seorang perempuan kulit hitam di Alabama tertangkap basah mencuri dari sebuah supermarket . Denis ... Polisi yang dipanggil untuk menahannya menemukan bahwa yang dicuri Helen hanyalah 5 butir telur ... ia tidak jadi menangkapnya ... " aku mencuri ini sebab aku dan anak2 ku 2 hari ini belum makan " ratap Helen yang membuat hati Denis teriris .... Polisi itu lalu mengantarnya pulang kerumah setelah membelikan untuknya sekeranjang telur ... keesokan harinya , Denis dan rekan2 nya sesama polisi datang ke rumah Helen dengan 2 mobil penuh makanan dan keperluan sehari2 .... " engkau tidak perlu melakukan ini " kata Helen haru seraa memeluk polisi itu .... Denis berkata : " kadangkala kebutuhan kita pada KEMANUSIAAN lebih besar daripada kebutuhan kita pada hukum "

Kalo di Indonesia jangankan peduli akan hukum.. yang dipeduliin cuma harta untuk memenuhi masing - masing individu. Walaupun beberapa ada yang sudah sadar.. tapi itu semua tidak cukup, jadi mari kita berdoa agar seluruh masyarakat Indonesia bisa melakukan hal - hal baik semacam ini, tapi jangan hanya dengan berdoa saja, kalian juga harus berusaha untuk berubah dan mau berbaur untuk saling menyarankan. ������
Rubahlah Pemikiran yg buruk dari orang lain Dan Berusahalah Untuk Lebih baik lagi...

Sebuah Catatan Kecil

.

© 2017 www.ruangpuisi.my.id

Jika memiliki pertanyaan silakan kirim email ke saya
Email: developers.achmad@gmail.com
Hotline: +628 1518 44488; Jln.Griya Wartawan Pancawarga 41: 13410.